Selasa, 13 Maret 2012

Analisis Roman Ingarden oleh Hirdyantara Bastrindo FKIP UNRAM


   ANALISIS ROMAN INGARDEN
Oleh : Hirdyantara Bastrindo
DATANG DARA, HILANG DARA
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
- Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”

“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
1.     Lapis Pertama (bunyi/sound stratum)
Sajak tersebut berupa satuan- satuan suara : suara suku kata, kata, dan barangkali merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu : suara frase dan suara kalimat. Jadi lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi  yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu, disini bahasa Indonesia. Hanya saja dalam puisi pembicaraan lapis bunyi haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat istimewa atau khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
·         Dalam bait pertama sajak datang dara, hilang dara terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi “a” dan “i”, pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara dan senja.
·         Dalam bait pertama terdapat aliterasi “r”  yang masing-masing ada pada kata “dara, sendiri, berani, mengembara dan mencari.
·         Dalam bait kedua, terdapat asonansi “a” dan “u” pada kata mau, menyapu dan rambut.
·         Dalam bait ketiga terdapat asonansi bunyi “a” dan “i” pada kata terurai, cari, asing, dan pantai
·         Bait ke empat, dominasi bunyi “a” dan “u” menimbulkan asonansi bunyi terutama 1, 2 dan 3 yang menyatakan lambang rasa yang menyatakan kegembiraan si gadis, yang mengatakan, Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu,Padaku sampai ke kalbu,Turut serta bintang bintang, turut serta bayu, Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
·          Bait kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu ( kakofoni ) yang menggambarkan suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga yaitu “Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan”
·         Pada bait keenam, ditemukan bunyi  yang menirukan bunyi seekor burung elang pada kata “heeyaa!”.
·         Pada bait ketujuh tidak ditemukan aliterasi maupun asonansi
·         Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi konsonan (aliterasi) bunyi “ n” pada kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan, dan ketenangan
·         Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan baris, yaitu :
“ “Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
·         Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi “m” pada baris pertama yaitu pada kata malam, kelam, mencat, dan hitam.


2.     Lapis kedua (Lapis Arti)
Satuan terkecil yang berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari kebebasan dan jati dirinya sebagai seorang remaja. Sigadis mencoba menemukan sisi lain dalam dirinya, mencari jati dirinya di sebuah pantai pada waktu senja.  Kemudian si aku mengajak si gadis yang bernama dara itu untuk pulang, dalam kata lain mengajak dara untuk kembali.
            Dalam bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang laut, juga menikmati angin yang meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara sampai menemukan apa yang ia cari yakni sebuah kebebasan yang baru saja ia rasakan di pantai, dengan kata lain si dara merasakan sebuah kebebasan di pantai pada waktu senja.
Dalam bait ketiga,si  aku merasakan rambutnya yang lepas terurai dihempas angin pantai di waktu senja.Si  Aku bertanya pada dara apa gerangan yang ia cari di laut dingin di pantai yang asing. Tokoh si aku berpendapat tidak ada apa-apa dilaut yang sunyi, dingin dan terasa asing, oleh sebab itu si aku sesekali membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari aku. Seakan Dara ingin bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan hatinya, yang membuat hatinya tenang dan terbebas dari beban yang ia hadapi. Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam bait kelima si aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang bersamanya. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani)  dan si aku juga menakuti dara, kalau hujan badai akan segera turun dan apabila dara tidak pulang sekarang, ia akan tersesat karena suasana semakin gelap dan semakin mencekam dan pada ahirnya tersesat (nanti semua gelap, kau hilang jalan)
Dalam bait keenam, dara bukannya menuruti kata-kata si aku justru menari di tepi pantai menirukan seekor burung  elang yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai tidak terlihat ( ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara menirukan gerakan elang terbang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua tangannya. Dara seperti itu karena benar-benar merasakan kebebasan, dengan kata lain lewat menari seperti burung elang ia mengexpresikan kebahagiaan dan kebebasan yang ia rasakan.
Di bait ketujuh, si aku kembali memperingatkan dara bahwa laut diterpa badai kencang (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang  yang semakin besar yang menandakan bahaya besar akan datang (lihat, gelombang membuas berkejaran). Dalam bait ketujuh si aku benar-benar menghawatirkan si dara, karena benar-benar dalam keadaan yang sangat mencekam, angin badai seakan menyapu, gelombang tinggi nan deras seakan siap menghantam. Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang, pulang dan kembali bersamanya.
 Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain dan menari hingga dara tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang ditelan gelombang. Si aku berusaha menemukan dara, berteriak sekuat tenaga dengan berkata “Dara, di mana kau, daraMana, mana lagumu?Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?Mana, mana daraku berani? “.
 Di bait terakhir, si aku meratapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya. Dimalam yang kelam itu si aku sendiri dan menyesal tidak bisa membawa dara pulang dan kembali bersamanya. Si  aku mencari dara di pantai, namun hanya kehampaan yang  ditemukan tokoh si aku.
3.     Analisis Lapis ketiga (Objek-objek, latar, pelaku, dunia pengarang)
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang.
·         Objek yang dikemukakan antara lain :
1.               Dara           6.          Gelombang
2.               Pantai         7.          Rambut
3.               Senja          8.          Kalbu
4.               Angin          9.          Bintang
5.               Malam        10.        Cahaya
·         Pelaku atau tokoh antara lain :
1.               Si Aku
2.               Dara
·         Latar waktu :
-       Saat senja atau menjelang malam
·         Latar tempat :
-       Pantai senja yang mendung disertai tiupan angin pantai

Dunia Pengarang
                        Dunia pengarang adalah ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Ini merupakan gabungan dari jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur ceritanya (alur); seperti berikut.
                        Seorang gadis yang bernama dara yang berani mengembara sendiri untuk mencari jati diri, menemukan kebebasan yang sejak lama ia idamkan di pantai dikala senja. Tokoh si aku mencoba mengajak dara pulang dan kembali bersamanya, namun Dara menolak ajakan si aku untuk pulang. Ia menikmati kebebasan dan kebahagiaan dipantai senja yang ia dapatkan dari hembusan angin malam yang menyejukkan hati dan sesekali angin itu membelai dan menguraikan rambutnya. Dara tidak mau pulang dan kembali sebelum ia menemukan apa yang ia cari, ia akan berada disana sampai menemukan apa yang ia cari dan takkan memperdulikan ajakan si aku yang menyuruhnya kembali pulang. Si aku bertanya apa yang sebenarnya Dara cari ditempat seperti ini, si aku kembali mengajak Dara pulang, namun dara tetap menolak dan Dara pun malah bernyanyi dibawah langit yang disinari bintang-bintang yang menghiasi malam dan disertai hembusan angin pantai yang menyejukkan. Dara tetap bernyanyi, bernyanyi dengan bebasnya.
                        Si aku kembali mengajak Dara untuk pulang dan kali ini dia merayu dengan mengatakan “dara, dara anak berani”. Si aku juga mengatakan “Awan hitam mendung mau datang menutup,Nanti semua gelap, kau hilang jalan”, si aku sangat menghawatirkan dara karena bintang yang semula menghiasi langit akan tertutup awan hitam dan menandakan hujan akan segera turun. Namun kembali dara dengan kesekian kalinya menolak ajakan dari si aku, bahkan dara semakin menjadi-jadi, dara malah bernyanyi dengan riang dan “heeyaa !” teriak dara menirukan suara elang yang sedang terbang diatas gelombang ketika laut pasang dikala senja.
Si aku kembali menakuti dara dan mengatakan “Dengarkanlah, laut mau mengamuk, Ayo pulang! Pulang dara, Lihat, gelombang membuas berkejaran, Ayo pulang!  Ayo pulang.” . Si aku semakin hawatir karena hujan turun dan angin dan petir menyambar-nyambar, suasana getir dan hawatir yang dirasakan oleh si aku, namun walaupun cuaca sangatlah buruk dara tetap tidak mau pulang dan malah ia mengatakan “Gelombang tak mau menelan aku, Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang” . Dara menari-nari merasakan kebebasan yang ia rasakan, namun ditengah kebebasan dan kebahagiaan yang ia rasakan tanpa sadar gelombang pasang menelan gadis itu, hingga tubuhnya hanyut dan tak meninggalkan jejak sedikitpun.
Kehawatiran si aku semakin menjadi-jadi disaat melihat tubuh dara tergulung ombak pasang, si aku berteriak dan mencari dara, namun ia tak menemukan jejak dara. si aku mencari dara, dibawah malam yang gelap tanpa bintang-bintang. Si aku mencari dara di pantai senja yang beranjak malam. Namun dara tidak ada. Dara mati ditelan gelombang.
4.     Lapis keempat (makna/implisit)
Lapis Dunia, Lapis keempat adalah pembentuk makna dalam sajak, lapis dunia  yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah “implisit” (tersirat). Dara adalah seorang gadis yang sendiri (dara yang sendiri) yang mencari kebebasan di pantai dikala senja.
Di bait ketiga, si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan si aku ditolak oleh dara. Si aku membujuk dengan mengatakan “laut akan dihantam badai” dan mengajak dara pulang agar nanti tidak tersesat karena begitu berbahaya bila dipantai yang sudah mau gelap apalagi sendiri. Di bait keempat, menceritakan penolakan dara, dan justru dara bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah terbang dan berkata “heeyaa” seolah-olah dara jadi elang yang terbang bebas merasakan kebebasan yang ia rasakan. Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak berhasil dan laut akan diterjang badai.
Di bait kedelapan, menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang (atap kepalaku hilang dibawah busah dan lumut). Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan dan penyesalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan gelombang.
5.     Lapis kelima (metafisis)
Lapis kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam sajak ini lapis itu berupa pencarian akan kebebasan dan kebahagiaan yang ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut, seringkali ia hanya menurutkan egonya saja, tanpa mempedulikan apakah jalan yang ditempuh baik atau malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya ia menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan disaat pahit getirnya hidup yang ia rasakan. Namun  dalam pencarian akan kebebasan itu, ia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebebasan yang diluar batas yang justru akan merugikan diri sendiri. Namun ia seringkali tidak peduli terhadap nasihat-nasihat orang-orang disekitar yang peduli kepadanya dan tetap menuruti hawa nafsunya hingga akhirnya hancur oleh egonya sendiri.
Jadi tidak sepatutnya kita terlalu merasakan kebebasan dan kebahagiaan namun kita lupa diri. Jangan sampai kita tak memperdulikan orang lain yang peduli terhadap kita.
Boleh kita merasakan kebebasan dan kebahagian, namun jangan sampai terlalu senang, dan sampai-sampai tidak memperdulikan nasehat-nasehat orang lain. Mengekspresikan kebebasan dan kebahagiaan itu ada batasannya.










Daftar Pustaka
Pradopo, Rahmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Pres
Jassin, HB, Chairil Anwar. 1985. Pelopor Angkatan 45. Jakarta : PT Gunung Agung









1 komentar: