ANALISIS ROMAN INGARDEN
Oleh
: Hirdyantara Bastrindo
DATANG DARA, HILANG DARA
“Dara, dara yang sendiri
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
Berani mengembara
Mencari di pantai senja,
Dara, ayo pulang saja, dara!”
“Tidak, aku tidak mau!
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
Biar angin malam menderu
Menyapu pasir, menyapu gelombang
Dan sejenak pula halus menyisir rambutku
Aku mengembara sampai menemu.”
“Dara, rambutku lepas terurai
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
Apa yang kaucari.
Di laut dingin di asing pantai
Dara, Pulang! Pulang!”
“Tidak, aku tidak mau!
- Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
- Biar aku berlagu, laut dingin juga berlagu
Padaku sampai ke kalbu
Turut serta bintang bintang, turut serta bayu,
Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
“Dara, dara, anak berani
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan
Ayo pulang, pulang, pulang.”
“Heeyaa! Lihat aku menari di muka laut
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
Aku jadi elang sekarang, membelah-belah gelombang
Ketika senja pasang, ketika pantai hilang
Aku melenggang, ke kiri ke kanan
Ke kiri, ke kanan, aku melenggang.”
“Dengarkanlah, laut mau mengamuk
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
Ayo pulang! Pulang dara,
Lihat, gelombang membuas berkejaran
Ayo pulang! Ayo pulang.”
“Gelombang tak mau menelan aku
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
Aku sendiri getaran yang jadikan gelombang,
Kedahsyatan air pasang, ketenangan air tenang
Atap kepalaku hilang di bawah busah & lumut.”
“Dara, di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?
Malam kelam mencat hitam bintang-bintang
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
Tidak ada sinar, laut tidak ada cahaya
Di pantai, di senja tidak ada dara
Tidak ada dara, tidak ada, tidak –
1. Lapis Pertama (bunyi/sound stratum)
Sajak
tersebut berupa satuan- satuan suara : suara suku kata, kata, dan barangkali
merupakan seluruh bunyi (suara) sajak itu : suara frase dan suara kalimat. Jadi
lapis bunyi dalam sajak itu ialah semua satuan bunyi yang berdasarkan konvensi bahasa tertentu,
disini bahasa Indonesia. Hanya saja dalam puisi pembicaraan lapis bunyi
haruslah ditujukan pada bunyi-bunyi atau pola bunyi yang bersifat istimewa atau
khusus, yaitu yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni.
·
Dalam bait pertama sajak datang dara, hilang
dara terdapat kombinasi vokal (asonansi) bunyi “a” dan “i”, pada kata sendiri, berani, mencari, dara, mengembara
dan senja.
·
Dalam bait pertama terdapat aliterasi “r”
yang masing-masing ada pada kata “dara,
sendiri, berani, mengembara dan
mencari.
·
Dalam bait kedua, terdapat asonansi “a” dan “u” pada kata mau, menyapu
dan rambut.
·
Dalam bait ketiga terdapat asonansi bunyi “a”
dan “i” pada kata terurai, cari, asing,
dan pantai
·
Bait ke empat, dominasi bunyi “a” dan “u” menimbulkan asonansi bunyi terutama 1, 2 dan 3 yang menyatakan
lambang rasa yang menyatakan kegembiraan si gadis, yang mengatakan, Biar aku
berlagu, laut dingin juga berlagu,Padaku sampai ke kalbu,Turut serta bintang
bintang, turut serta bayu, Bernyanyi dara dengan kebebasan lugu.”
·
Bait
kelima, terdapat kombinasi yang tidak merdu ( kakofoni ) yang menggambarkan
suasana yang tidak menyenangkan seperti ditunjukkan pada baris kedua dan ketiga
yaitu “Awan hitam mendung mau datang menutup
Nanti semua gelap, kau hilang jalan”
Nanti semua gelap, kau hilang jalan”
·
Pada bait keenam, ditemukan bunyi yang menirukan bunyi seekor burung elang pada
kata “heeyaa!”.
·
Pada bait ketujuh tidak ditemukan aliterasi
maupun asonansi
·
Pada bait kedelapan, ada perpaduan bunyi
konsonan (aliterasi) bunyi “ n” pada
kata menelan, getaran, jadikan, kedahsyatan,
dan ketenangan
·
Pada bait kesembilan, adanya repetisi pada
kata mana menghasilkan bunyi yang padu dalam keseluruhan baris, yaitu :
“ “Dara,
di mana kau, dara
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
Mana, mana lagumu?
Mana, mana kekaburan ramping tubuhmu?
Mana, mana daraku berani?”
·
Pada bait terakhir, terdapat aliterasi bunyi
“m” pada baris pertama yaitu pada
kata malam, kelam, mencat, dan hitam.
2. Lapis kedua (Lapis Arti)
Satuan
terkecil yang berupa fonem. Satuan fonem berupa suku kata dan kata. Kata
bergabung menjadi kelompok kata, kalimat, alinea, bait, bab, dan seluruh
cerita. Itu semua merupakan satuan arti.
Dalam
bait pertama diceritakan seorang gadis yang berani berkeliaran di tepi pantai
pada waktu senja. Gadis itu sedang mencari kebebasan dan jati dirinya sebagai
seorang remaja. Sigadis mencoba menemukan sisi lain dalam dirinya, mencari jati
dirinya di sebuah pantai pada waktu senja. Kemudian si aku mengajak si gadis yang bernama
dara itu untuk pulang, dalam kata lain mengajak dara untuk kembali.
Dalam
bait kedua, dara menolak ajakan aku untuk pulang. Ia justru menikmati hembusan
angin malam yang menghamburkan pasir, dan menerpa gelombang laut, juga
menikmati angin yang meniup rambutnya. Dara tidak ingin pulang dan ingin terus mengembara
sampai menemukan apa yang ia cari yakni sebuah kebebasan yang baru saja ia
rasakan di pantai, dengan kata lain si dara merasakan sebuah kebebasan di
pantai pada waktu senja.
Dalam
bait ketiga,si aku merasakan rambutnya
yang lepas terurai dihempas angin pantai di waktu senja.Si Aku bertanya pada dara apa gerangan yang ia
cari di laut dingin di pantai yang asing. Tokoh si aku berpendapat tidak ada
apa-apa dilaut yang sunyi, dingin dan terasa asing, oleh sebab itu si aku
sesekali membujuk dara agar turut pulang bersamanya.
Dalam
bait keempat dara tetap menolak ajakan pulang dari aku. Seakan Dara ingin
bersenandung bersama laut malam yang dingin sampai senandungnya menghanyutkan
hatinya, yang membuat hatinya tenang dan terbebas dari beban yang ia hadapi.
Dara bersenandung di malam yang penuh bintang-bintang dengan angin yang
berhembus semilir yang membuatnya merasa bebas.
Dalam
bait kelima si aku tetap tidak menyerah membujuk dara agar mau pulang
bersamanya. Si aku membujuk dara dengan kata-kata manis (dara anak berani) dan si aku juga menakuti dara, kalau hujan
badai akan segera turun dan apabila dara tidak pulang sekarang, ia akan
tersesat karena suasana semakin gelap dan semakin mencekam dan pada ahirnya tersesat
(nanti semua gelap, kau hilang jalan)
Dalam
bait keenam, dara bukannya menuruti kata-kata si aku justru menari di tepi
pantai menirukan seekor burung elang
yang terbang bebas melintasi gelombang pasang ketika senja disaat pantai mulai
tidak terlihat ( ketika senja pasang, ketika pantai hilang). Si dara menirukan
gerakan elang terbang melenggang ke kiri dan kekanan sambil merentangkan kedua
tangannya. Dara seperti itu karena benar-benar merasakan kebebasan, dengan kata
lain lewat menari seperti burung elang ia mengexpresikan kebahagiaan dan
kebebasan yang ia rasakan.
Di
bait ketujuh, si aku kembali memperingatkan dara bahwa laut diterpa badai
kencang (dengarkan laut mau mengamuk) dengan gelombang yang semakin besar yang menandakan bahaya
besar akan datang (lihat, gelombang membuas berkejaran). Dalam bait ketujuh si
aku benar-benar menghawatirkan si dara, karena benar-benar dalam keadaan yang
sangat mencekam, angin badai seakan menyapu, gelombang tinggi nan deras seakan
siap menghantam. Untuk yang terakhir kalinya si aku mengajak dara pulang,
pulang dan kembali bersamanya.
Di bait kedelapan dara tetap keras kepala dan
tidak mengindahkan ajakan si aku. Dara justru berkata bahwa ia sendiri adalah
bagian dari getaran gelombang, yang menciptakan kedahsyatan air pasang, juga
ketenangan air laut saat surut. Ia begitu asyik bermain dan menari hingga dara
tidak menyadari bahwa tubuhnya sudah hilang ditelan gelombang hingga kepalanya
berada di bawah buih busa dan lumut laut.
Di
bait kesembilan, si aku mencari sosok tubuh dara yang ramping yang telah hilang
ditelan gelombang. Si aku berusaha menemukan dara, berteriak sekuat tenaga
dengan berkata “Dara, di mana kau, daraMana, mana lagumu?Mana, mana
kekaburan ramping tubuhmu?Mana, mana daraku berani? “.
Di
bait terakhir, si aku meratapi kematian dara di bawah malam yang kelam oleh
mendung hingga bintang-bintang kehilangan cahayanya. Dimalam yang kelam itu si
aku sendiri dan menyesal tidak bisa membawa dara pulang dan kembali bersamanya.
Si aku mencari dara di pantai, namun
hanya kehampaan yang ditemukan tokoh si
aku.
3. Analisis Lapis ketiga (Objek-objek,
latar, pelaku, dunia pengarang)
Lapis
satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-objek yang dikemukakan,
latar, pelaku, dan dunia pengarang.
·
Objek yang dikemukakan antara lain :
1.
Dara 6. Gelombang
2.
Pantai 7. Rambut
3.
Senja 8. Kalbu
4.
Angin 9. Bintang
5.
Malam 10. Cahaya
·
Pelaku atau tokoh antara lain :
1.
Si Aku
2.
Dara
·
Latar waktu :
- Saat
senja atau menjelang malam
·
Latar tempat :
- Pantai
senja yang mendung disertai tiupan angin pantai
Dunia
Pengarang
Dunia pengarang adalah ceritanya,
yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Ini merupakan gabungan
dari jalinan antara objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur
ceritanya (alur); seperti berikut.
Seorang
gadis yang bernama dara yang berani mengembara sendiri untuk mencari jati diri,
menemukan kebebasan yang sejak lama ia idamkan di pantai dikala senja. Tokoh si
aku mencoba mengajak dara pulang dan kembali bersamanya, namun Dara menolak
ajakan si aku untuk pulang. Ia menikmati kebebasan dan kebahagiaan dipantai
senja yang ia dapatkan dari hembusan angin malam yang menyejukkan hati dan
sesekali angin itu membelai dan menguraikan rambutnya. Dara tidak mau pulang
dan kembali sebelum ia menemukan apa yang ia cari, ia akan berada disana sampai
menemukan apa yang ia cari dan takkan memperdulikan ajakan si aku yang
menyuruhnya kembali pulang. Si aku bertanya apa yang sebenarnya Dara cari
ditempat seperti ini, si aku kembali mengajak Dara pulang, namun dara tetap
menolak dan Dara pun malah bernyanyi dibawah langit yang disinari
bintang-bintang yang menghiasi malam dan disertai hembusan angin pantai yang
menyejukkan. Dara tetap bernyanyi, bernyanyi dengan bebasnya.
Si
aku kembali mengajak Dara untuk pulang dan kali ini dia merayu dengan
mengatakan “dara, dara anak berani”. Si aku juga mengatakan “Awan hitam mendung
mau datang menutup,Nanti semua gelap, kau hilang jalan”, si aku sangat
menghawatirkan dara karena bintang yang semula menghiasi langit akan tertutup
awan hitam dan menandakan hujan akan segera turun. Namun kembali dara dengan
kesekian kalinya menolak ajakan dari si aku, bahkan dara semakin menjadi-jadi,
dara malah bernyanyi dengan riang dan “heeyaa
!” teriak dara menirukan suara elang yang sedang terbang diatas gelombang
ketika laut pasang dikala senja.
Si
aku kembali menakuti dara dan mengatakan “Dengarkanlah, laut mau mengamuk, Ayo
pulang! Pulang dara, Lihat, gelombang membuas berkejaran, Ayo pulang! Ayo pulang.” . Si aku semakin hawatir karena
hujan turun dan angin dan petir menyambar-nyambar, suasana getir dan hawatir
yang dirasakan oleh si aku, namun walaupun cuaca sangatlah buruk dara tetap
tidak mau pulang dan malah ia mengatakan “Gelombang tak mau menelan aku, Aku
sendiri getaran yang jadikan gelombang” . Dara menari-nari merasakan kebebasan
yang ia rasakan, namun ditengah kebebasan dan kebahagiaan yang ia rasakan tanpa
sadar gelombang pasang menelan gadis itu, hingga tubuhnya hanyut dan tak
meninggalkan jejak sedikitpun.
Kehawatiran
si aku semakin menjadi-jadi disaat melihat tubuh dara tergulung ombak pasang,
si aku berteriak dan mencari dara, namun ia tak menemukan jejak dara. si aku
mencari dara, dibawah malam yang gelap tanpa bintang-bintang. Si aku mencari
dara di pantai senja yang beranjak malam. Namun dara tidak ada. Dara mati
ditelan gelombang.
4.
Lapis keempat (makna/implisit)
Lapis
Dunia, Lapis keempat adalah pembentuk makna dalam sajak, lapis dunia yang tidak perlu dinyatakan, namun sudah
“implisit” (tersirat). Dara adalah seorang gadis yang sendiri (dara yang
sendiri) yang mencari kebebasan di pantai dikala senja.
Di
bait ketiga, si aku mengajak dara pulang. Namun ajakan si aku ditolak oleh
dara. Si aku membujuk dengan mengatakan “laut akan dihantam badai” dan mengajak
dara pulang agar nanti tidak tersesat karena begitu berbahaya bila dipantai
yang sudah mau gelap apalagi sendiri. Di bait keempat, menceritakan penolakan
dara, dan justru dara bermain-main menirukan gerakan seekor elang yang tengah
terbang dan berkata “heeyaa” seolah-olah dara jadi elang yang terbang bebas
merasakan kebebasan yang ia rasakan. Di bait ketujuh, menyatakan kegelisahan si
aku karena bujukannya mengajak dara pulang tidak berhasil dan laut akan
diterjang badai.
Di
bait kedelapan, menyatakan dara tetap menolak dan teguh pada pendiriannya
hingga akhirnya ia hilang ditelan gelombang (atap kepalaku hilang dibawah busah
dan lumut). Di bait kesembilan dan kesepuluh, menyatakan kegagalan dan
penyesalan si aku dalam membujuk dara pulang hingga akhirnya dara mati ditelan
gelombang.
5.
Lapis kelima (metafisis)
Lapis
kelima adalah lapis metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam
sajak ini lapis itu berupa pencarian akan kebebasan dan kebahagiaan yang
ditunjukkan oleh tokoh dara. Dalam pencariannya akan kebebasan tersebut,
seringkali ia hanya menurutkan egonya saja, tanpa mempedulikan apakah jalan
yang ditempuh baik atau malah merugikan dirinya. Memang ada kalanya ia
menginginkan saat-saat dimana dirinya merasakan kebebasan disaat pahit getirnya
hidup yang ia rasakan. Namun dalam
pencarian akan kebebasan itu, ia hendaknya tidak melupakan batasan-batasan yang
ada, sehingga tidak terjerumus oleh kebebasan yang diluar batas yang justru
akan merugikan diri sendiri. Namun ia seringkali tidak peduli terhadap
nasihat-nasihat orang-orang disekitar yang peduli kepadanya dan tetap menuruti
hawa nafsunya hingga akhirnya hancur oleh egonya sendiri.
Jadi
tidak sepatutnya kita terlalu merasakan kebebasan dan kebahagiaan namun kita
lupa diri. Jangan sampai kita tak memperdulikan orang lain yang peduli terhadap
kita.
Boleh
kita merasakan kebebasan dan kebahagian, namun jangan sampai terlalu senang,
dan sampai-sampai tidak memperdulikan nasehat-nasehat orang lain. Mengekspresikan
kebebasan dan kebahagiaan itu ada batasannya.
Daftar Pustaka
Pradopo, Rahmat Djoko. 2010. Pengkajian
Puisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Pres
Jassin, HB, Chairil Anwar. 1985. Pelopor
Angkatan 45. Jakarta : PT Gunung Agung
Makasih ^_^
BalasHapus