Selasa, 20 Maret 2012

PUDARNYA PESONA BAHASA INDONESIA

Tanda-tanda menurunnya kebanggaan berbahasa Indonesia sepertinya semakin menguat. Bisa jadi, kecenderungan tersebut juga tercermin dari perubahan perilaku dan cara bersikap kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Hal yang bisa dengan mudah kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di jalanan.
Banyak ahli, utamanya psikolog menyatakan bahwa bahasa dipercaya dapat menunjukkan berbagai aspek dari manusia, termasuk budaya dan perilakunya. Lebih jauh, cara seseorang berbicara dan gaya bahasa yang digunakan, akan menunjukkan pola pikir dan cara seseorang dalam memandang kehidupan. Hal ini misalnya disampaikan oleh Lera Boroditsky, seorang profesor psikologi dari Universitas Stanford dalam artikelnya berjudul ‘Lost in Translation’ (The Wall Street Journal, 24 Juli 2010).
Salah satu pertanda menurunnya kebanggaan berbahasa Indonesia, antara lain terlihat dari semakin banyaknya penggunaan bahasa dan istilah asing, utamanya bahasa Inggris. Baik oleh masyarakat biasa maupun para tokoh masyarakat dan para petinggi negara. Bahkan, ruang kerja khusus kepresidenan termutakhir yang diresmikan presiden pertengahan Juli lalu juga menggunakan istilah bahasa Inggris, yaitu ‘situation room’. Mungkin meminjam istilah untuk ruang kerja serupa bagi Presiden Amerika Serikat (AS) yang tentunya jauh lebih canggih, di sayap barat Gedung Putih, Washington DC. Meskipun situation room di AS lebih untuk urusan di bidang pertahanan dan keamanan serta intelijen. Konon penamaan ruangan dengan bahasa asing ini hanya sementara, menunggu nama yang lebih pas. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa terminologi asing lebih diakrabi.
Contoh lain adalah menjamurnya sekolah-sekolah yang berlabel berstandar internasional dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris. Sekolah-sekolah ini bahkan seringkali pembayaran uang sekolahnyapun menggunakan mata uang asing. Sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai pula dengan peraturan perundangan mengenai penggunaan alat pembayaran yang sah di negeri ini.
Semangat untuk belajar dan menguasai bahasa asing memang sudah merupakan tuntutan jaman, namun mengkhawatirkan bila hal ini membuat generasi penerus bangsa menjadi semakin tidak fasih berbahasa Indonesia. Padahal, bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan sebagaimana deklarasi Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan sebagai perekat utama bangsa ini. Apa jadinya bila semakin banyak anak bangsa yang tidak lagi berkomunikasi dalam bahasanya sendiri, meski di negeri sendiri?
Kebutuhan untuk bahasa asing yang memang semakin penting tidak seharusnya lantas melupakan bahasa ibu. Misalnya hanya digunakan pada saat berkomunikasi dan berkorespondensi dengan pihak asing, maupun dalam forum-forum internasional.
Hal yang sangat berbeda terjadi di China, raksasa baru dunia. Pejabat-pejabat pemerintahan China bahkan tetap menggunakan bahasanya di dalam pertemuan-pertemuan resmi dengan pihak asing, baik di dalam negeri maupun di acara-acara internasional. Padahal banyak masyarakat di China yang fasih berbahasa Inggris.
Fenomena semakin memudarnya pamor bahasa Indonesia terutama terjadi di kota-kota besar, terutama Jakarta. Meski sekarang mulai merambah pula ke kota-kota lain di Indonesia.
Banyak pihak yang sebenarnya sudah khawatir dengan kecenderungan tadi. Para pemerhati dan ahli bahasa Indonesia sudah beberapa kali mengingatkan pentingnya menjaga keutuhan dan kebenaran bahasa Indonesia. Bahkan pernah ada rancangan undang-undang kebahasaaan (RUU Kebahasaan) untuk menyelamatkan bahasa Indonesia. RUU yang disusun oleh Pusat Bahasa Depdiknas ini pernah ramai dibicarakan tahun 2006/2007 lalu, namun entah kemana nasibnya kini.
Kecenderungan semakin turunnya pamor bahasa Indonesia menjadi perhatian pula orang asing. Tengok misalnya artikel Norimitsu Onishi berjudul ‘As English Spreads, Indonesian Fear for Their Language’ (The New York Times, 25 Juli 2010). Artikelnya antara menyoroti semakin banyaknya anak-anak Indonesia, yang meskipun hidup dan tinggal di Indonesia namun justru lebih mahir berbahasa Inggris. Biasanya anak-anak ini dari pasangan keluarga muda yang orangtuanya mengenyam pendidikan di luar negeri, terutama Amerika Serikat dan Australia.
Cara berbahasa Indonesiapun ternyata telah mengalami semacam evolusi, menjadi semakin minimalis. Hal dinyatakan oleh Qaris Tajudin, wartawan majalah Tempo. Dalam rubrik Bahasa di majalah tersebut edisi 26 Juli – 1 Agustus 2010, dia menyatakan bawha gaya berbahasa Indonesia sekarang cenderung minimalis. Kecendrungan ini katanya mengindikasikan keengganan (keterpaksaan) dalam berbahasa Indonesia. Hal yang lebih mengkhawatirkan, katanya hal tersebut menunjukkan tendensi perilaku yang malas berpikir. Tentu gawat kalau benar seperti ini.
Rasanya, indikasi-indikasi tersebut semakin ada benarnya. Perilaku sebagian masyarakat yang dengan mudah kita cermati menunjukkan kecenderungan tadi. Tengok misalnya dalam berbagai dialog atau debat publik dari para pakar dan tokoh yang disiarkan berbagai stasiun televisi. Cara mereka berkomentar, berpendapat dan bersanggahan, pilihan kata dan ekspresinya, sepertinya tidak mencerminkan budaya bangsa ini seperti yang diceritakan para sesepuhdulu. Demokrasi dan keterbukaan tidak semestinya harus mengubah jati diri bangsa, walaupun para pejuang demokrasi belajar dari dan di manca negara.
Bila benar bahwa salah satu perekat bangsa ini semakin tersingkirkan, rasanya memang perlu khawatir. Mudah-mudahan para tokoh masyarakat dan para petinggi negara semakin menaruh perhatian akan fenomena ini. Juga memberi contoh bagaimana seharusnya.
Kemampuan untuk menguasai bahasa asing memang penting, bahkan harus, agar bisa maju dan bersaing secara global. Namun yang lebih penting adalah tahu kapan hal itu digunakan, dengan siapa dan dimana. Dengan begitu, keutuhan dan jati diri bangsa tetap terjaga. Merdeka!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar