Tanda-tanda menurunnya
kebanggaan berbahasa Indonesia sepertinya semakin menguat. Bisa jadi,
kecenderungan tersebut juga tercermin dari perubahan perilaku dan cara
bersikap kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini. Hal yang bisa dengan
mudah kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di jalanan.
Banyak
ahli, utamanya psikolog menyatakan bahwa bahasa dipercaya dapat
menunjukkan berbagai aspek dari manusia, termasuk budaya dan
perilakunya. Lebih jauh, cara seseorang berbicara dan gaya bahasa yang
digunakan, akan menunjukkan pola pikir dan cara seseorang dalam
memandang kehidupan. Hal ini misalnya disampaikan oleh Lera Boroditsky, seorang profesor psikologi dari Universitas Stanford dalam artikelnya berjudul ‘Lost in Translation’ (The Wall Street Journal, 24 Juli 2010).
Salah
satu pertanda menurunnya kebanggaan berbahasa Indonesia, antara lain
terlihat dari semakin banyaknya penggunaan bahasa dan istilah asing,
utamanya bahasa Inggris. Baik oleh masyarakat biasa maupun para tokoh
masyarakat dan para petinggi negara. Bahkan, ruang kerja khusus
kepresidenan termutakhir yang diresmikan presiden pertengahan Juli lalu
juga menggunakan istilah bahasa Inggris, yaitu ‘situation room’.
Mungkin meminjam istilah untuk ruang kerja serupa bagi Presiden Amerika
Serikat (AS) yang tentunya jauh lebih canggih, di sayap barat Gedung
Putih, Washington DC. Meskipun situation room
di AS lebih untuk urusan di bidang pertahanan dan keamanan serta
intelijen. Konon penamaan ruangan dengan bahasa asing ini hanya
sementara, menunggu nama yang lebih pas. Paling tidak, ini menunjukkan
bahwa terminologi asing lebih diakrabi.
Contoh
lain adalah menjamurnya sekolah-sekolah yang berlabel berstandar
internasional dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris.
Sekolah-sekolah ini bahkan seringkali pembayaran uang sekolahnyapun
menggunakan mata uang asing. Sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai pula
dengan peraturan perundangan mengenai penggunaan alat pembayaran yang
sah di negeri ini.
Semangat
untuk belajar dan menguasai bahasa asing memang sudah merupakan
tuntutan jaman, namun mengkhawatirkan bila hal ini membuat generasi
penerus bangsa menjadi semakin tidak fasih berbahasa Indonesia. Padahal,
bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan sebagaimana deklarasi
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, dan sebagai perekat utama bangsa ini. Apa
jadinya bila semakin banyak anak bangsa yang tidak lagi berkomunikasi
dalam bahasanya sendiri, meski di negeri sendiri?
Kebutuhan
untuk bahasa asing yang memang semakin penting tidak seharusnya lantas
melupakan bahasa ibu. Misalnya hanya digunakan pada saat berkomunikasi
dan berkorespondensi dengan pihak asing, maupun dalam forum-forum
internasional.
Hal
yang sangat berbeda terjadi di China, raksasa baru dunia.
Pejabat-pejabat pemerintahan China bahkan tetap menggunakan bahasanya di
dalam pertemuan-pertemuan resmi dengan pihak asing, baik di dalam
negeri maupun di acara-acara internasional. Padahal banyak masyarakat di
China yang fasih berbahasa Inggris.
Fenomena
semakin memudarnya pamor bahasa Indonesia terutama terjadi di kota-kota
besar, terutama Jakarta. Meski sekarang mulai merambah pula ke
kota-kota lain di Indonesia.
Banyak
pihak yang sebenarnya sudah khawatir dengan kecenderungan tadi. Para
pemerhati dan ahli bahasa Indonesia sudah beberapa kali mengingatkan
pentingnya menjaga keutuhan dan kebenaran bahasa Indonesia. Bahkan
pernah ada rancangan undang-undang kebahasaaan (RUU Kebahasaan) untuk
menyelamatkan bahasa Indonesia. RUU yang disusun oleh Pusat Bahasa
Depdiknas ini pernah ramai dibicarakan tahun 2006/2007 lalu, namun entah
kemana nasibnya kini.
Kecenderungan
semakin turunnya pamor bahasa Indonesia menjadi perhatian pula orang
asing. Tengok misalnya artikel Norimitsu Onishi berjudul ‘As English Spreads, Indonesian Fear for Their Language’ (The New York Times,
25 Juli 2010). Artikelnya antara menyoroti semakin banyaknya anak-anak
Indonesia, yang meskipun hidup dan tinggal di Indonesia namun justru
lebih mahir berbahasa Inggris. Biasanya anak-anak ini dari pasangan
keluarga muda yang orangtuanya mengenyam pendidikan di luar negeri,
terutama Amerika Serikat dan Australia.
Cara
berbahasa Indonesiapun ternyata telah mengalami semacam evolusi,
menjadi semakin minimalis. Hal dinyatakan oleh Qaris Tajudin, wartawan
majalah Tempo. Dalam rubrik Bahasa di majalah tersebut edisi 26 Juli – 1
Agustus 2010, dia menyatakan bawha gaya berbahasa Indonesia sekarang
cenderung minimalis. Kecendrungan ini katanya mengindikasikan keengganan
(keterpaksaan) dalam berbahasa Indonesia. Hal yang lebih
mengkhawatirkan, katanya hal tersebut menunjukkan tendensi perilaku yang
malas berpikir. Tentu gawat kalau benar seperti ini.
Rasanya,
indikasi-indikasi tersebut semakin ada benarnya. Perilaku sebagian
masyarakat yang dengan mudah kita cermati menunjukkan kecenderungan
tadi. Tengok misalnya dalam berbagai dialog atau debat publik dari para
pakar dan tokoh yang disiarkan berbagai stasiun televisi. Cara mereka
berkomentar, berpendapat dan bersanggahan, pilihan kata dan ekspresinya,
sepertinya tidak mencerminkan budaya bangsa ini seperti yang
diceritakan para sesepuhdulu. Demokrasi dan keterbukaan tidak semestinya
harus mengubah jati diri bangsa, walaupun para pejuang demokrasi
belajar dari dan di manca negara.
Bila
benar bahwa salah satu perekat bangsa ini semakin tersingkirkan,
rasanya memang perlu khawatir. Mudah-mudahan para tokoh masyarakat dan
para petinggi negara semakin menaruh perhatian akan fenomena ini. Juga
memberi contoh bagaimana seharusnya.
Kemampuan
untuk menguasai bahasa asing memang penting, bahkan harus, agar bisa
maju dan bersaing secara global. Namun yang lebih penting adalah tahu
kapan hal itu digunakan, dengan siapa dan dimana. Dengan begitu,
keutuhan dan jati diri bangsa tetap terjaga. Merdeka!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar